Sejarah membuktikan, di Final yang berbicara 80% persen adalah mental. Bukan kemampuan, apalagi sekedar nama besar. Tanyakan saja pada Roberto Baggio yang menjadi penyebab kegagalan Italia menjadi Juara Piala Dunia tahun 1994. Siapa yang tak kenal Roberto Baggio pada saat itu? Tanyakan pada Zinedine Zidane yang gagal mengontrol emosinya sehingga menyebabkan Perancis gagal menjadi juara diajang serupa tahun 2006 silam. Tentu anda juga masih ingat bagaimana Yunani secara mengejutkan mengalahkan Portugal di Euro 2004 yang notabene lebih difavoritkan.
Itulah yang menjadi pelajaran berharga bagi laskar merah putih ketika takluk 0-3 dari negeri Jiran Malaysia di leg pertama Final piala AFF lalu. Akui saja, mental kita memang belum layak untuk menjadi juara. Lihat saja, mereka bahkan sudah gugup ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tak tersisa lagi determinasi mereka seperti 5 pertandingan sebelumnya. Okto tidak seberani biasanya. Gonzales bahkan jarang menyentuh bola. Umpan Firman Utina entah kemana. Kesigapan duet Maman-Hamka juga menguap. Striker-striker Malaysia mampu melewati dua sampai tiga pemain kita dengan mudahnya. Padahal di laga sebelumnya, Philip dan James Younghousband saja kesulitan untuk melewati barikade pertahanan kita.
Mereka cengeng. Akui saja. Berapa kali mereka protes karena laser. Ya, mungkin memang laser yang menjadi penyebabnya. Tapi bangsa ini mampu mengusir penjajah dengan bambu runcing. Mungkin para pahlawan kemerdekaan malu melihat kita cuma bisa “cengeng” karena gangguan laser.
Bukan. Saya bukannya menganggap laser adalah perbuatan tidak tak sportif. Tapi itulah mereka. Jika mereka licik. Masa kita akan membalas dengan cara yang licik juga. Itu sama saja kita menjilat kembali penghinaan yang sudah kita lontarkan kemarin. Masa kita mau disamakan dengan bangsa yang hina itu?
Jadi, dewasalah kawan.
Lihatlah statement Riedl di konferensi pers usai pertandingan. Dia memang mengeluhkan laser, tapi dia mengakui Indonesia kalah bukan karena sinar laser, tapi karena lemahnya mental bertanding.
Kita sendiri yang membuat Garuda keok di Malaya. Kita memuji Irfan Bachdim terlalu tinggi. Semua pemain besar kepala dan manja. Para pejabat memanfaatkannya seolah-olah peduli sepakbola. Ketua PSSI tampil seolah bak pahlawan (padahal jualan tiket saja belum becus, bagaimana mau mengurusi sepakbola). Kita meramaikan Twitter, Facebook dan jejaring sosial lainnya dengan pujian setinggi langit. Media pun ikutan lebay, sehingga wawancara dilakukan setiap saat. Mereka jadi tidak fokus. Sebelum menyalahkan para pengecut penonton Malaysia itu, salahkan dulu diri kita sendiri. Kita lupa, kita belum juara. Jadi tidak hanya pemain timnas yang belum punya mental juara, penonton (pendukung) timnas Garuda, yang tak lain adalah kita sendiri, pun belum punya mental juara. Kalau baru masuk final piala sekelas ASEAN saja kita sudah besar kepala, maka kita tak akan pernah mencicipi piala dunia.
Bukan berarti tidak boleh mendukung. Tapi Riedl Gank juga butuh waktu untuk konsentrasi. Jangan ganggu mereka. Jangan siang-malam stand by di hotel sultan hanya untuk melihat Irfan Bachdim atau Christian Gonzales. Biasa aja, dong! Jangan lebay!
Dan masih ada lagi…
Lihat saja sahabat-sahabat kita sebangsa dan setanah air yang tiba-tiba berubah arah. Ketika menang Timnas disanjung setinggi langit. Ketika kalah, ada yang menyalahkan Maman, ada yang menyalahkan Markus, bahkan ada yang menyesal karena sudah membeli tiket final leg kedua dan berniat menjualnya… jika kita bersikap seperti ini, mulai sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, apa memang kita (Indonesia) sudah layak menjadi juara.
Semua teriak PSSI Amatiran…
Timnas nya mental jago kandang…
Kenapa tidak kita lengkapi saja dengan; penontonnya kampungan….!
Itulah wajah kita, kawan…
Jadi ngaca dulu sebelum nunjuk hidung orang lain…
Jadi tanggal 29 nanti mari merahkan Senayan…
Dukung mereka dengan yel-yel dan doa
Tunjukkan pada dunia kalau kita bangsa yang yang tahu tatakrama...
Kita tunggu apa yang akan dilakukan Riedl di Jakarta nanti.
Apapun yang terjadi, mereka tetap pahlawan kita...
Menang-kalah, Garuda tetap ada di dada kita…
Setuju, kawan?
NB:
Apapun yang terjadi Malaysia tetap menjadi pecundang di kejuaraan ini.
Kalo mereka menang? Semua akan mencibir, "Ah boleh menang curang, lu?!"
Kalo mereka kalah? Semua juga akan menghina, "Udah curang, kalah pula….!!!"
Jadi yang curang itu bagaimanapun tetap pecundang.
Jadi jangan tiru cara-cara hina mereka
Kalau kita meniru, kita lebih hina dari mereka.
Tunjukkan kalau Indonesia lebih dewasa.
Tunjukkan kalau Indonesia lebih bermartabat.
Ayo kita tunjukkan pada dunia, Indonesia adalah bangsa yang santun dan beradab...